JEJAK
SEJARAH PERJUANGAN SENIMAN TASIKMALAYA
Oleh : Irvan Mulyadie
Sampai tahun 2011, berarti sudah lebih
dari 13 tahun sejak diresmikannya Gedung Kesenian Tasikmalaya (GKT) pada 25
Agustus 1998 oleh Gubernur Jawa Barat R. Nuriana, GKT mangkrak dan kurang
terawat. Tidak ada lagi bantuan yang diberikan Pemerintah daerah, baik Pemkab
maupun Pemkot Tasikmalaya. Akibatnya fatal, GKT rusak parah dan nyaris seperti
bangunan Rumah Hantu. Lalu timbul pertanyaan, bagaimanakah peran seniman dan
pemerintahan sehingga terjadi hal itu ?
Sekilas Sejarah
Gedung Kesenian Tasikmalaya, tidak dibangun dengan ujug-ujug atas kepedulian pemerintah daerah semata. Banyaknya keterbatasan, baik dari segi sumber daya manusia dan anggaran menjadi alasan klasik atas tak pernah terwujudnya gedung kesenian yang secara khusus diperuntukan untuk menampilkan aneka ragam kreasi dari senimannya sendiri. Pada tahun-tahun sebelum adanya GKT, sekira tahun 1970-an hingga akhir 1997, seniman harus rela untuk mengungsi dari satu tempat ke tempat lainnya hanya untuk dapat mempertunjukan kebolehannya kepada publik. Terutama bagi seniman Teater dan Seni Rupa.
Gedung Kesenian Tasikmalaya, tidak dibangun dengan ujug-ujug atas kepedulian pemerintah daerah semata. Banyaknya keterbatasan, baik dari segi sumber daya manusia dan anggaran menjadi alasan klasik atas tak pernah terwujudnya gedung kesenian yang secara khusus diperuntukan untuk menampilkan aneka ragam kreasi dari senimannya sendiri. Pada tahun-tahun sebelum adanya GKT, sekira tahun 1970-an hingga akhir 1997, seniman harus rela untuk mengungsi dari satu tempat ke tempat lainnya hanya untuk dapat mempertunjukan kebolehannya kepada publik. Terutama bagi seniman Teater dan Seni Rupa.
Sebagai kebutuhan mendesak, adanya
gedung kesenian merupakan suatu hal pokok yang sangat diperjuangkan ketika itu.
Maka berbagai aksi kreatif pun selalu dilakukan. Berbagai kegiatan bernuansa
seni budaya digelar dimana-mana, baik kesenian tradisional sunda, teater,
sastra, seni rupa, dsb. Bacara digelar di tempat-tempat alternatif seperti di
Gedung SKB (sekarang Gd.DRD Kota Tasikmalaya), Gedung Golkar, Gedung GGM,
hingga aula-aula sekolahan dan Mall. Perjuangan tersebut tak mengenal kata
lelah. Sehingga akhirnya, di masa kepemimpinan Bupati H.Suljana WH, GKT dapat
terwujud. Dan tentu saja seniman dan para penikmat seni di Tasikmalaya
merasakan kegembiraan.
Meskipun penuh kontroversi di dalam
pembangunannya, seperti dengan tidak pernah dilibatkannya pihak-pihak seniman
di dalam merancang dan membangun gedung kesenian, tetapi pasca selesai
pembangunannya, hampir seluruh energi dan perhatian para aktivis seni
Tasikmalaya saat itu terfokus pada GKT. Wacananya sederhana, yakni bagaimana
caranya supaya GKT yang sudah kokoh
berdiri itu dapat bermanfaat. Mempunyai agenda jelas sebagai tempat
pertunjukan karya seni yang ideal. Lebih dari itu, sebagai rumah ke-2 seniman
tasikmalaya. Munculah euforia.
Saking semangatnya dalam upaya
merealisasikan angan-angan yang indah itu, baik seniman dan pemerintahan
berupaya mencari solusi. Wacana yang
berkembang adalah, pertama adalah upaya pembentukan suatu lembaga kepengurusan
gedung kesenian, dan yang ke-dua adalah pembentukan Dewan Kesenian.
Untuk agenda yang pertama, nyaris mulus
tanpa hambatan. Baik seniman dan pemerintahan telah sepakat dalam kerjasama
untuk kemakmuran GKT. Konsepnya, seniman mengisi kegiatan kesenian, sedangkan
pemerintah akan mendorong kegiatan-kegiatan tersebut di wilayah kelancaran
perizinan dan pendanaan. Sangat ideal. Dan penuh kebersamaan.
Maka terbitlah Surat Keputusan Bupati
Kepala Daerah Tingkat II Tasikmalaya Nomor: 431.21/sk.248.Sos/1998 tentang
Pembentukan Badan Pengelola Gedung Kesenian Tasikmalaya (BPGKT) yang
ditandatangani langsung oleh Bupati H.Suljana Wirata Hadisubrata. Adapun
pokok-pokok keputusan tersebut menyangkut :
1.
Membentuk BPGKT dengan susunan dan komposisi personalianya adalah unsur seniman
dan pemerintaham,
2.
Penetapan tugas BPGKT sebagai organisasi yang dapat memelihara, mengatur,
membina dan memanfaatkan GKT dengan baik, sehingga GKT tersebut berfungsi
sebagai gedung yang representatif, baik dari segi fisik maupun segi penyajian
materi kesenian.
3.
Biaya bagi pemeliharaan dan penyelenggaraan GKT bersumber dari subsidi
Pemerintah Daerah Tk.II Tasikmalaya dan usaha-usaha lainnya yang (oleh BPGKT,
red).
4.
Pengaturan lebih lanjut sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya itu ditetapkan
dan diatur oleh BPGKT.
5.
Pengurus BPGKT bertanggung jawab secara langsung kepada Bupati dengan masa
kepengurusannya selama tiga tahun terhitung sejak tanggal penetapannya.
6.
Seperti biasa, selalu ada kata Surat Keputusan tersebut berlaku sejak tanggal
ditetapkan yakni 14 agustus 1998 dengan ketentuan akan diadakan perubahan dan
atau perbaikan sebagaimana mestinya, apabila di kemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan dalam penetapannya.
Adapun susunan personalia BPGKT saat itu
adalah; Pelindung diambil langsung oleh Bupati, tim Penasihat terdiri dari
Kepala Kandepdikbud Tasikmalaya, Walikota Tasikmalaya, Kepala P&K serta
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya. Sementara Posisi Ketua BPGKT untuk
pertama kalinya itu dipegang oleh Drs. H. Eddy Herdiman dengan wakilnya Drs. Djodjo Nuryanto. Sekertaris
ditangani oleh Saeful Badar dengan wakilnya Drs.Soni. Sedangkan untuk Bendahara
diamanatkan kepada Ny. Hj. Edddy Herdiman dengan Wakilnya Idi Syamsudin.
Selain posisi yang telah disebutkan di
atas, maka dibentuk pula seksi-seksi dalam tubuh BPGKT. Meliputi Seksi
Dana/Usaha, Seksi Humas, Seksi Publikasi, Seksi Dokumentasi, Seksi Pemeliharaan
dan Pengembangan, juga Seksi Program yang terdiri dari Bidang Teater, Seni
Rupa, Pedalangan, Tari Musik, Karawitan, dan Kesenian Tradisional. Dan yang
terakhir adalah Kesekretariatan.
Jadi, setelah 11 hari terbentuknya BPGKT
itu, maka diresmikanlah GKT oleh Gubernur Jawa Barat dalam suatu ritual
kebudayaan yang unik dan artistik.
Perkembangan
BPGKT
Untuk sementara waktu, BPGKT dapat
berjalan dengan pola adumanis antara
seniman dengan unsur pemerintahan. Namun beberapa tahun kemudian menjadi tidak
efektif. Hal ini bisa saja disebabkan oleh gemuknya personalia yang mencapai 34
orang. BPGKT tidak berjalan seperti apa yang diharapkan semula. Yang kerja,
kerja. Tapi yang tidak bekerja juga lebih banyak. Seperti silih tembleuhkeun.
Tapi ini dapat dimaklumi, mengingat
hampir separuh dari personallia BPGKT ini adalah PNS aktif, orang-orang
pemerintahan yang sudah barang tentu punya kesibukan atau tanggung jawab
lebih besar kepada tugas pokok dan
fungsinya sebagai abdi negara.
Yang tadinya BPGKT bertanggungjawab
langsung kepada Bupati, namun setahun kemudian terbitlah sebuah Surat Keputusan
Bupati Tasikmalaya Nomor : 431.21/sl.248-Sos/1999 tentang Penunjukan Kepala
Dinas Permukiman, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup sebagai Penanggung Jawab
Pengelola Sarana Olah Raga dan Gedung Kesenian Tasikmalaya di Lingkungan Dadaha
Tasikmalaya.
Sepertinya, akibat peralihan kewenangan
dari Bupati kepada Kepala Dinas terkait inilah awal mula konflik vertikal
terjadi. Keberpihakan pemerintah terhadap GKT kian hari semakin memprihatinkan.
Adanya kebuntuan komunikasi terhadap penafsiran Perda dan kewenangan
masing-masing pihak, tidak menghasilkan kesefahaman yang produktif. Semua
merasa benar sendiri.
Misalnya di dalam hal kewajiban pengurus
BPGKT untuk menyerahkan hasil sewa GKT yang sesuai target yang besarannya tarif
sewanya itu disesuaikan dengan Perda yang ada. Tentu saja pihak seniman
menolak. Alasannya, jangankan untuk memberikan PAD, untuk biaya merawat GKT
saja tidak mampu. Apalagi pihak pemda tidak membiayai perawatan BPGKT secara
rutin. Sementara pihak Dinas terkait punya dalih harus memenuhi target tahunan.
Buntu.
Hal lainnya yang sangat berdampak
signifikan pada GKT akibat lemahnya posisi BPGKT saat itu adalah dengan adanya
situasi politik. Saat itu dalam suasana peralihan kekuasaan puncak di
Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya. Akhirnya, Bupati Suljana yang dikenal dekat
dengan seniman harus diganti oleh H. Tatang Farhanul Hakim pada tahun 2001. Dan
sejak tahun 2001, secara hirarki, BPGKT tidak lagi di bawah Bupati, melainkan
di bawah Dinas Permukiman, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup. Yang menandatangani
SKnya pun Kepala Dinas.
Kepengurusan BPGKT mulai goyah.
Unsur-unsur personalia dari pemerintahan mulai mengambil jarak. Sementara pihak
seniman terus berupaya menghidupi dirinya sendiri. Personalia BPGKT yang
tersisa akhirnya hanya seniman, tanpa melibatkan unsur pemerintahan.
Efektivitas dan efisiensi menjadi alasan. Tapi secara fisik dan psikis GKT
terus mengalami kemunduran.
Sejarah mencatat, sejak dilantik hingga
berakhirnya jabatan sebagai Bupati Kabupaten Tasikmalaya, Tatang Farhanul Hakim
tidak pernah sekali pun menginjakan kakinya di GKT. Guntreng soal aset Pemkab dan Pemkot pun jadi alasan paling kuat
terjadinya pembiaran rusaknya GKT.
Tahun 2001 BPGKT dipimpin oleh
Drs.Djodjo Nuryanto, M.Hum. Beberapa tahun kemudian digantikan oleh Drs.Enung
Sudrajat, M.Pd pada 2005-2011. Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas
pelayanan GKT terus dilakukan. Perbaikan alakadarnya, dan pengadaan barang
sekemampuan pula. Tapi tetap saja, hal itu tak pernah cukup untuk membuat GKT
bernilai lebih. Apalagi, gesekan antar seniman yang berkepentingan terus
bergulir di wilayah “perebutan lapak” di GKT. Wacananya minor sekali. Serta
jauh dari wacana-wacana kreatif kekaryaan. GKT kian dijauhi, juteru oleh
senimannya sendiri. Mengerikan. (bersambung)
Dimuat pertama kali di Harian Kabar
Priangan, 28 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar