Jumat, 06 Februari 2015

GEDUNG KESENIAN TASIK (Bagian I)


JEJAK SEJARAH PERJUANGAN SENIMAN TASIKMALAYA
Oleh : Irvan Mulyadie

Sampai tahun 2011, berarti sudah lebih dari 13 tahun sejak diresmikannya Gedung Kesenian Tasikmalaya (GKT) pada 25 Agustus 1998 oleh Gubernur Jawa Barat R. Nuriana, GKT mangkrak dan kurang terawat. Tidak ada lagi bantuan yang diberikan Pemerintah daerah, baik Pemkab maupun Pemkot Tasikmalaya. Akibatnya fatal, GKT rusak parah dan nyaris seperti bangunan Rumah Hantu. Lalu timbul pertanyaan, bagaimanakah peran seniman dan pemerintahan sehingga terjadi hal itu ?

Sekilas Sejarah         
   Gedung Kesenian Tasikmalaya, tidak dibangun dengan ujug-ujug atas kepedulian pemerintah daerah semata. Banyaknya keterbatasan, baik dari segi sumber daya manusia dan anggaran menjadi alasan klasik atas tak pernah terwujudnya gedung kesenian yang secara khusus diperuntukan untuk menampilkan aneka ragam kreasi dari senimannya sendiri. Pada tahun-tahun sebelum adanya GKT, sekira tahun 1970-an hingga akhir 1997, seniman harus rela untuk mengungsi dari satu tempat ke tempat lainnya hanya untuk dapat mempertunjukan kebolehannya kepada publik. Terutama bagi seniman Teater dan Seni Rupa.          
Sebagai kebutuhan mendesak, adanya gedung kesenian merupakan suatu hal pokok yang sangat diperjuangkan ketika itu. Maka berbagai aksi kreatif pun selalu dilakukan. Berbagai kegiatan bernuansa seni budaya digelar dimana-mana, baik kesenian tradisional sunda, teater, sastra, seni rupa, dsb. Bacara digelar di tempat-tempat alternatif seperti di Gedung SKB (sekarang Gd.DRD Kota Tasikmalaya), Gedung Golkar, Gedung GGM, hingga aula-aula sekolahan dan Mall. Perjuangan tersebut tak mengenal kata lelah. Sehingga akhirnya, di masa kepemimpinan Bupati H.Suljana WH, GKT dapat terwujud. Dan tentu saja seniman dan para penikmat seni di Tasikmalaya merasakan kegembiraan.
Meskipun penuh kontroversi di dalam pembangunannya, seperti dengan tidak pernah dilibatkannya pihak-pihak seniman di dalam merancang dan membangun gedung kesenian, tetapi pasca selesai pembangunannya, hampir seluruh energi dan perhatian para aktivis seni Tasikmalaya saat itu terfokus pada GKT. Wacananya sederhana, yakni bagaimana caranya supaya GKT yang sudah kokoh  berdiri itu dapat bermanfaat. Mempunyai agenda jelas sebagai tempat pertunjukan karya seni yang ideal. Lebih dari itu, sebagai rumah ke-2 seniman tasikmalaya. Munculah euforia.
Saking semangatnya dalam upaya merealisasikan angan-angan yang indah itu, baik seniman dan pemerintahan berupaya mencari solusi. Wacana  yang berkembang adalah, pertama adalah upaya pembentukan suatu lembaga kepengurusan gedung kesenian, dan yang ke-dua adalah pembentukan Dewan Kesenian.
Untuk agenda yang pertama, nyaris mulus tanpa hambatan. Baik seniman dan pemerintahan telah sepakat dalam kerjasama untuk kemakmuran GKT. Konsepnya, seniman mengisi kegiatan kesenian, sedangkan pemerintah akan mendorong kegiatan-kegiatan tersebut di wilayah kelancaran perizinan dan pendanaan. Sangat ideal. Dan penuh kebersamaan.
Maka terbitlah Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Tasikmalaya Nomor: 431.21/sk.248.Sos/1998 tentang Pembentukan Badan Pengelola Gedung Kesenian Tasikmalaya (BPGKT) yang ditandatangani langsung oleh Bupati H.Suljana Wirata Hadisubrata. Adapun pokok-pokok keputusan tersebut menyangkut :
1. Membentuk BPGKT dengan susunan dan komposisi personalianya adalah unsur seniman dan pemerintaham,
2. Penetapan tugas BPGKT sebagai organisasi yang dapat memelihara, mengatur, membina dan memanfaatkan GKT dengan baik, sehingga GKT tersebut berfungsi sebagai gedung yang representatif, baik dari segi fisik maupun segi penyajian materi kesenian.
3. Biaya bagi pemeliharaan dan penyelenggaraan GKT bersumber dari subsidi Pemerintah Daerah Tk.II Tasikmalaya dan usaha-usaha lainnya yang (oleh BPGKT, red).
4. Pengaturan lebih lanjut sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya itu ditetapkan dan diatur oleh BPGKT.
5. Pengurus BPGKT bertanggung jawab secara langsung kepada Bupati dengan masa kepengurusannya selama tiga tahun terhitung sejak tanggal penetapannya.
6. Seperti biasa, selalu ada kata Surat Keputusan tersebut berlaku sejak tanggal ditetapkan yakni 14 agustus 1998 dengan ketentuan akan diadakan perubahan dan atau perbaikan sebagaimana mestinya, apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam penetapannya.
Adapun susunan personalia BPGKT saat itu adalah; Pelindung diambil langsung oleh Bupati, tim Penasihat terdiri dari Kepala Kandepdikbud Tasikmalaya, Walikota Tasikmalaya, Kepala P&K serta Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Tasikmalaya. Sementara Posisi Ketua BPGKT untuk pertama kalinya itu dipegang oleh Drs. H. Eddy Herdiman dengan  wakilnya Drs. Djodjo Nuryanto. Sekertaris ditangani oleh Saeful Badar dengan wakilnya Drs.Soni. Sedangkan untuk Bendahara diamanatkan kepada Ny. Hj. Edddy Herdiman dengan Wakilnya Idi Syamsudin.
Selain posisi yang telah disebutkan di atas, maka dibentuk pula seksi-seksi dalam tubuh BPGKT. Meliputi Seksi Dana/Usaha, Seksi Humas, Seksi Publikasi, Seksi Dokumentasi, Seksi Pemeliharaan dan Pengembangan, juga Seksi Program yang terdiri dari Bidang Teater, Seni Rupa, Pedalangan, Tari Musik, Karawitan, dan Kesenian Tradisional. Dan yang terakhir adalah Kesekretariatan.
Jadi, setelah 11 hari terbentuknya BPGKT itu, maka diresmikanlah GKT oleh Gubernur Jawa Barat dalam suatu ritual kebudayaan yang unik dan artistik.

Perkembangan BPGKT
            Untuk sementara waktu, BPGKT dapat berjalan dengan pola adumanis antara seniman dengan unsur pemerintahan. Namun beberapa tahun kemudian menjadi tidak efektif. Hal ini bisa saja disebabkan oleh gemuknya personalia yang mencapai 34 orang. BPGKT tidak berjalan seperti apa yang diharapkan semula. Yang kerja, kerja. Tapi  yang  tidak bekerja juga lebih banyak. Seperti silih tembleuhkeun.
Tapi ini dapat dimaklumi, mengingat hampir separuh dari personallia BPGKT ini adalah PNS aktif, orang-orang pemerintahan yang sudah barang tentu punya kesibukan atau tanggung jawab lebih  besar kepada tugas pokok dan fungsinya sebagai abdi negara.
Yang tadinya BPGKT bertanggungjawab langsung kepada Bupati, namun setahun kemudian terbitlah sebuah Surat Keputusan Bupati Tasikmalaya Nomor : 431.21/sl.248-Sos/1999 tentang Penunjukan Kepala Dinas Permukiman, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup sebagai Penanggung Jawab Pengelola Sarana Olah Raga dan Gedung Kesenian Tasikmalaya di Lingkungan Dadaha Tasikmalaya.
Sepertinya, akibat peralihan kewenangan dari Bupati kepada Kepala Dinas terkait inilah awal mula konflik vertikal terjadi. Keberpihakan pemerintah terhadap GKT kian hari semakin memprihatinkan. Adanya kebuntuan komunikasi terhadap penafsiran Perda dan kewenangan masing-masing pihak, tidak menghasilkan kesefahaman yang produktif. Semua merasa benar sendiri.
Misalnya di dalam hal kewajiban pengurus BPGKT untuk menyerahkan hasil sewa GKT yang sesuai target yang besarannya tarif sewanya itu disesuaikan dengan Perda yang ada. Tentu saja pihak seniman menolak. Alasannya, jangankan untuk memberikan PAD, untuk biaya merawat GKT saja tidak mampu. Apalagi pihak pemda tidak membiayai perawatan BPGKT secara rutin. Sementara pihak Dinas terkait punya dalih harus memenuhi target tahunan. Buntu.
Hal lainnya yang sangat berdampak signifikan pada GKT akibat lemahnya posisi BPGKT saat itu adalah dengan adanya situasi politik. Saat itu dalam suasana peralihan kekuasaan puncak di Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya. Akhirnya, Bupati Suljana yang dikenal dekat dengan seniman harus diganti oleh H. Tatang Farhanul Hakim pada tahun 2001. Dan sejak tahun 2001, secara hirarki, BPGKT tidak lagi di bawah Bupati, melainkan di bawah Dinas Permukiman, Tata Ruang dan Lingkungan Hidup. Yang menandatangani SKnya pun Kepala Dinas.
Kepengurusan BPGKT mulai goyah. Unsur-unsur personalia dari pemerintahan mulai mengambil jarak. Sementara pihak seniman terus berupaya menghidupi dirinya sendiri. Personalia BPGKT yang tersisa akhirnya hanya seniman, tanpa melibatkan unsur pemerintahan. Efektivitas dan efisiensi menjadi alasan. Tapi secara fisik dan psikis GKT terus mengalami kemunduran.
Sejarah mencatat, sejak dilantik hingga berakhirnya jabatan sebagai Bupati Kabupaten Tasikmalaya, Tatang Farhanul Hakim tidak pernah sekali pun menginjakan kakinya di GKT. Guntreng soal aset Pemkab dan Pemkot pun jadi alasan paling kuat terjadinya pembiaran rusaknya GKT.
Tahun 2001 BPGKT dipimpin oleh Drs.Djodjo Nuryanto, M.Hum. Beberapa tahun kemudian digantikan oleh Drs.Enung Sudrajat, M.Pd pada 2005-2011. Berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan GKT terus dilakukan. Perbaikan alakadarnya, dan pengadaan barang sekemampuan pula. Tapi tetap saja, hal itu tak pernah cukup untuk membuat GKT bernilai lebih. Apalagi, gesekan antar seniman yang berkepentingan terus bergulir di wilayah “perebutan lapak” di GKT. Wacananya minor sekali. Serta jauh dari wacana-wacana kreatif kekaryaan. GKT kian dijauhi, juteru oleh senimannya sendiri. Mengerikan. (bersambung)

Dimuat pertama kali di Harian Kabar Priangan, 28 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar