Selasa, 24 Februari 2015

GEDUNG KESENIAN TASIK (Bagian III - Habis)



SEJARAH YANG TERULANG DAN ANTI KLIMAKS
Oleh : Irvan Mulyadie


                Tepat pada tanggal 31 Desember 2013, GKT memasuki babak baru dalam sejarah perjalanannya. Sebab di hari itulah Bupati Tasikmalaya, H. Uu Ruzhanul Ulum mengumumkan secara resmi dan terbuka tentang penyerahan sebagian aset Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya yang masih berada di wilayah Kota Tasikmalaya kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya. Beberapa diantaranya adalah aset-aset yang berada di kawasan kompleks olahraga  Dadaha.

GKT pindah kepemilikan
Jadi, pertanggal 1 Januari 2014, Gedung Kesenian Tasikmalaya juga secara resmi menjadi milik Pemkot Tasikmalaya. Momen bersejarah ini tentu saja mendapatkan apresiasi luar biasa dari masyarakat Tasikmalaya pada umumnya. Mengingat sejak terjadinya pemisahan pemerintahan Tasikmalaya menjadi Pemkot dan Pemkab pada 17 Oktober 2001 melalui terbitnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2001, persoalan yang paling pelik serta tak kunjung selesai adalah masalah pembagian aset. Dalam berbagai kesempatan, hal ini sering memicu ketegangan secara politis di antara keduanya.
Bagi kami sebagai Badan Pengelola Gedung Kesenian (BPGKT), peralihan penguasaan aset ini sangat melegakan, dan tentu saja membawa harapan besar. Bagaimana pun, sejak terbelahnya Tasikmalaya menjadi dua daerah otonom, nasib GKT semakin tak terarah. Di satu sisi, secara kepemilikan masih dikuasai Pemkab, namun di sisi lainnya, GKT berada di wilayah Pemkot. Akibatnya, GKT seperti terlantar dalam dilema yang pragmatis.
Sejak saat itu, GKT tidak lagi tersentuh secara fisik. Pemkot, tentu saja tidak sudi untuk menyalurkan dananya, sebab tak ada kewenangan untuk itu. Bahkan ada semacam parodi, bila aset yang ada di wilayah kota tersebut diperbaiki oleh pihak Pemkot, maka itu sama saja seperti mempercantik istri orang lain.
Sementara pihak Pemkab sendiri sudah demikian kalkulatif, yakni jangankan untuk memperbaiki atau sekedar merawat aset-aset yang ada di wilayah kota, biaya untuk membangun fasilitas pemerintahannya di lokasi yang baru pun tidak ada.
Di awal tahun 2014 itu juga secara struktur, untuk pertama kalinya, penanggung jawab pengelolaan GKT tidak lagi di bawah Dinas Permukiman (Cipta Karya). Melainkan ada di bawah kewenangan Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (DISPARBUDPORA). Namun demikian, untuk masalah penanganan fisik bangunan seperti proses rehabilitasi bangunan, kewenangan tetap ada pada Dinas Cipta Karya.

Pemilik Baru, Masalah Baru
            Setelah peristiwa bersejarah yang telah disebutkan di atas, secara administratif posisi BPGKT menjadi sedikit rancu. Sebab, terakhir kali kepengurusan BPGKT yang diangkat oleh Pemkab Tasikmalaya, dalam SKnya adalah dari tahun 2012 hingga 2015. Sementara di tahun 2014, GKT sudah berpindah kepemilikan menjadi hak Pemkot Tasikmalaya.
            Sesungguhnya, jauh sebelum adanya peralihan aset ini, BPGKT sudah demikian aktif melakukan komunikasi dengan pihak Pemkot Tasikmalaya. Terutama dengan pihak Disparbudpora. Namun demikian, karena ketidak jelasan status aset GKT, serta banyak bergonta-gantinya pejabat terkait akibat rotasi mutasi di lingkungan Pemkot, komunikasi yang dijalin tersebut sering kali patah di tengah jalan. Sementara saat dilanjutkan dengan pejabat penggantinya, kadang tak nyambung. Maklum saja, sebab masing-masing pihak punya kepentingan sendiri-sendiri.
            Pada hari Selasa, 11 Maret 2014, saya diundang dengan kapasitas saya sebagai Ketua BPGKT oleh Pemkot Tasikmalaya dalam seremonial peresmian proyek-proyek tahun 2013 di Kecamatan Cihideung. Lokasi kegiatan tersebut di kompleks Taman Dadaha. Acara tersebut dihadiri juga oleh seluruh unsur Muspida Kota Tasikmalaya.
            Dalam sambutannya, Walikota Tasikmalaya Drs. H. Budi Budiman berjanji untuk membangun dan memperbaiki fasilitas publik yang ada di sekitar Dadaha. Termasuk Gedung Kesenian yang rencananya akan direhabilitasi dengan anggaran sekitar 1 Miliar Rupiah. Tentu saja kabar gembira itu mendapatkan ‘tepuk tangan’ yang meriah.
Hal ini telah membuktikan komitmen Walikota sendiri terhadap apa yang telah dijanjikannya pada saat masa kampanye Pilkada dulu. Salah satunya yakni tentang penuntasan masalah aset dengan Pemkab Tasikmalaya, serta akan memperbaiki aset-aset tersebut untuk mengoptimalkan fungsinya.
Tapi sayang, didalam perjalanannya, proses rehabilitasi yang berlangsung sejak September hingga akhir Desember 2014 ini tidak menghasilkan bangunan GKT seperti yang diharapkan. Hasil pekerjaan nampak sekali kurang berkualitas. Elemen yang semestinya tidak perlu diganti karena masih layak, malah dibongkar. Sedangkan bagian yang benar-benar membutuhkan perbaikan dibiarkan begitu saja. Tentu saja hal ini sangat mengecewakan.
Padahal sejak jauh-jauh hari pihak BPGKT telah mewanti-wanti supaya dana yang sangat besar itu dimanfaatkan secara maksimal dan tepat sasaran. Sayangnya, pihak BPGKT tidak dilibatkan secara resmi di dalam pelaksanaannya. Tentu tidak mempunyai keleluasaan untuk mengontrol kualitas, atau sekedar memberi saran.
Bahkan di dalam perjalanannya, proses Rehabilitasi GKT ini telah membuat berbagai peralatan vital GKT raib. Ada pun barang-barang yang hilang tersebut antara lain jaringan kabel Lighting panggung, lampu-lampu khusus untuk pertunjukan, pendingin ruangan, power soundsystem, serta banyak lagi fasilitas lainnya. Yang kalau dinominalkan bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Tapi anehnya, baik dari pihak pemborong selaku pelaksana proyek maupun dinas terkait, sampai hari ini belum ada yang menyatakan secara resmi untuk bertanggung jawab atas insiden itu. Apalagi menggantinya. Semua nampak jadi serba berbelit-belit.
Masalah lain, sejak berpindahnya kewenangan pengelolaan ke Disparbudpora Kota, eksistensi BPGKT kian tak jelas. Yang terasa adalah, peran BPGKT menjadi kian dipersempit pergerakannya. BPGKT hanya berwenang untuk menangani hal-hal teknis saja seperti menangani kebersihan dan mempersiapkan pertunjukan semata. Sementara hasil penyewaan gedung harus disetorkan langsung ke pihak Pemkot. Masih mending kalau pengelolaan GKT itu sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah, tapi ini tidak. BPGKT tetap harus membiayai dirinya sendiri. Kondisi ini lebih parah dari saat GKT masih dikuasai oleh Pemkab Tasikmalaya.
Bahkan, dari sisi program penyelenggaraan acara yang akan dipentaskan di GKT, Disparbudpora lebih memilih untuk membentuk kepanitiaan sendiri dengan membuat suatu presidium yang isinya tidak mencerminkan seluruh aspirasi masyarakat kesenian Kota Tasikmalaya. Sehingga mau tak mau, suasana berkesenian di Tasikmalaya ini jadi memanas. Bahkan kelompok-kelompok yang berkompetensi seperti Sanggar Sastra Tasik, Teater Bolon, Borelak, dan banyak lagi yang lainnya menarik diri dari kegiatan tersebut.
Sangat disayangkan, sebab komunitas-komunitas tadi adalah komunitas yang sudah tidak diragukan lagi eksistensi serta prestasinya di bidangnya masing-masing. Dan sudah sering mengharumkan nama besar Kota Tasikmalaya, baik di tingkat regional maupun pada tingkat nasional.
Dan lagi-lagi, BPGKT tidak dilibatkan secara proporsional di dalam penyelenggaraan acara yang diprediksi akan menghabiskan APBD ratusan juta rupiah. Padahal secara pengalaman dan kapasitas, BPGKT yang diisi oleh aktivis seni ini cukup mumpuni. Ini saya sampaikan, bukan karena ada nilai uang yang besar di dalam kegiatan tersebut, melainkan secara teknis di lapangan, GKT membutuhkan fasilitas yang memadai untuk menunjang kegiatan-kegiatan kesenian tersebut. Sebab hari ini, GKT seperti wanita cantik di luarnya, namun penuh penyakit di dalamnya.
Dari sini sudah jelas, niat tulus Walikota Tasikmalaya untuk memperbaiki dan memakmurkan gedung kesenian belum dapat diterjemahkan dengan baik oleh jajaran birokrasi di bawahnya. Hal ini sudah saya sampaikan pada berbagai kesempatan supaya mendapatkan perhatian dari pihak-pihak terkait. Salah satunya ketika saya bersama-sama Forum Warga Tasikmalaya beraudiensi dengan Walikota Tasikmalaya pada 3 Februari 2015 di Balekota, yang diterima oleh Wakil Walikota, Sekda Kota dan dihadiri pula oleh Ketua DPRD Kota Tasikmalaya. Namun sampai tulisan ini diturunkan, belum ada tanda-tanda ke arah perbaikan yang signifikan.
Saya jadi teringat peristiwa pada lebih dari 17 tahun silam. Ketika pembangunan Gedung Kesenian Tasik tidak pernah melibatkan kalangan seniman, sehingga hasilnya seperti bukan untuk gedung pertunjukan. Juga pembentukan Dewan Kesenian yang hanya menimbulkan perpecahan di antara pegiat kesenian. Ini seperti pengulangan sejarah. Sejarah yang anti klimaks. Peun !

Tasikmalaya, 10 februari 2015

(Dimuat pertamakali di Harian Kabar Priangan, 11/02/2015, Halaman 14, Rubrik Budaya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar