SEJARAH
YANG TERULANG DAN ANTI KLIMAKS
Oleh : Irvan Mulyadie
Tepat pada tanggal 31 Desember 2013, GKT memasuki
babak baru dalam sejarah perjalanannya. Sebab di hari itulah Bupati Tasikmalaya,
H. Uu Ruzhanul Ulum mengumumkan secara resmi dan terbuka tentang penyerahan
sebagian aset Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya yang masih berada di wilayah Kota
Tasikmalaya kepada Pemerintah Kota Tasikmalaya. Beberapa diantaranya adalah
aset-aset yang berada di kawasan kompleks olahraga Dadaha.
GKT pindah
kepemilikan
Jadi, pertanggal 1 Januari 2014, Gedung
Kesenian Tasikmalaya juga secara resmi menjadi milik Pemkot Tasikmalaya. Momen
bersejarah ini tentu saja mendapatkan apresiasi luar biasa dari masyarakat Tasikmalaya
pada umumnya. Mengingat sejak terjadinya pemisahan pemerintahan Tasikmalaya
menjadi Pemkot dan Pemkab pada 17 Oktober 2001 melalui terbitnya Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2001, persoalan yang paling pelik serta tak kunjung selesai
adalah masalah pembagian aset. Dalam berbagai kesempatan, hal ini sering memicu
ketegangan secara politis di antara keduanya.
Bagi kami sebagai Badan Pengelola Gedung
Kesenian (BPGKT), peralihan penguasaan aset ini sangat melegakan, dan tentu
saja membawa harapan besar. Bagaimana pun, sejak terbelahnya Tasikmalaya
menjadi dua daerah otonom, nasib GKT semakin tak terarah. Di satu sisi, secara
kepemilikan masih dikuasai Pemkab, namun di sisi lainnya, GKT berada di wilayah
Pemkot. Akibatnya, GKT seperti terlantar dalam dilema yang pragmatis.
Sejak saat itu, GKT tidak lagi tersentuh
secara fisik. Pemkot, tentu saja tidak sudi untuk menyalurkan dananya, sebab
tak ada kewenangan untuk itu. Bahkan ada semacam parodi, bila aset yang ada di
wilayah kota tersebut diperbaiki oleh pihak Pemkot, maka itu sama saja seperti
mempercantik istri orang lain.
Sementara pihak Pemkab sendiri sudah
demikian kalkulatif, yakni jangankan untuk memperbaiki atau sekedar merawat
aset-aset yang ada di wilayah kota, biaya untuk membangun fasilitas
pemerintahannya di lokasi yang baru pun tidak ada.
Di awal tahun 2014 itu juga secara
struktur, untuk pertama kalinya, penanggung jawab pengelolaan GKT tidak lagi di
bawah Dinas Permukiman (Cipta Karya). Melainkan ada di bawah kewenangan Dinas
Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (DISPARBUDPORA). Namun demikian,
untuk masalah penanganan fisik bangunan seperti proses rehabilitasi bangunan,
kewenangan tetap ada pada Dinas Cipta Karya.
Pemilik Baru,
Masalah Baru
Setelah peristiwa bersejarah yang
telah disebutkan di atas, secara administratif posisi BPGKT menjadi sedikit
rancu. Sebab, terakhir kali kepengurusan BPGKT yang diangkat oleh Pemkab
Tasikmalaya, dalam SKnya adalah dari tahun 2012 hingga 2015. Sementara di tahun
2014, GKT sudah berpindah kepemilikan menjadi hak Pemkot Tasikmalaya.
Sesungguhnya, jauh sebelum adanya
peralihan aset ini, BPGKT sudah demikian aktif melakukan komunikasi dengan
pihak Pemkot Tasikmalaya. Terutama dengan pihak Disparbudpora. Namun demikian,
karena ketidak jelasan status aset GKT, serta banyak bergonta-gantinya pejabat
terkait akibat rotasi mutasi di lingkungan Pemkot, komunikasi yang dijalin
tersebut sering kali patah di tengah jalan. Sementara saat dilanjutkan dengan
pejabat penggantinya, kadang tak nyambung. Maklum saja, sebab masing-masing
pihak punya kepentingan sendiri-sendiri.
Pada hari Selasa, 11 Maret 2014,
saya diundang dengan kapasitas saya sebagai Ketua BPGKT oleh Pemkot Tasikmalaya
dalam seremonial peresmian proyek-proyek tahun 2013 di Kecamatan Cihideung.
Lokasi kegiatan tersebut di kompleks Taman Dadaha. Acara tersebut dihadiri juga
oleh seluruh unsur Muspida Kota Tasikmalaya.
Dalam sambutannya, Walikota
Tasikmalaya Drs. H. Budi Budiman berjanji untuk membangun dan memperbaiki
fasilitas publik yang ada di sekitar Dadaha. Termasuk Gedung Kesenian yang
rencananya akan direhabilitasi dengan anggaran sekitar 1 Miliar Rupiah. Tentu
saja kabar gembira itu mendapatkan ‘tepuk tangan’ yang meriah.
Hal ini telah membuktikan komitmen
Walikota sendiri terhadap apa yang telah dijanjikannya pada saat masa kampanye
Pilkada dulu. Salah satunya yakni tentang penuntasan masalah aset dengan Pemkab
Tasikmalaya, serta akan memperbaiki aset-aset tersebut untuk mengoptimalkan
fungsinya.
Tapi sayang, didalam perjalanannya,
proses rehabilitasi yang berlangsung sejak September hingga akhir Desember 2014
ini tidak menghasilkan bangunan GKT seperti yang diharapkan. Hasil pekerjaan
nampak sekali kurang berkualitas. Elemen yang semestinya tidak perlu diganti
karena masih layak, malah dibongkar. Sedangkan bagian yang benar-benar
membutuhkan perbaikan dibiarkan begitu saja. Tentu saja hal ini sangat
mengecewakan.
Padahal sejak jauh-jauh hari pihak BPGKT
telah mewanti-wanti supaya dana yang sangat besar itu dimanfaatkan secara
maksimal dan tepat sasaran. Sayangnya, pihak BPGKT tidak dilibatkan secara
resmi di dalam pelaksanaannya. Tentu tidak mempunyai keleluasaan untuk
mengontrol kualitas, atau sekedar memberi saran.
Bahkan di dalam perjalanannya, proses
Rehabilitasi GKT ini telah membuat berbagai peralatan vital GKT raib. Ada pun
barang-barang yang hilang tersebut antara lain jaringan kabel Lighting panggung, lampu-lampu khusus
untuk pertunjukan, pendingin ruangan, power
soundsystem, serta banyak lagi fasilitas lainnya. Yang kalau dinominalkan
bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Tapi anehnya, baik dari pihak pemborong
selaku pelaksana proyek maupun dinas terkait, sampai hari ini belum ada yang
menyatakan secara resmi untuk bertanggung jawab atas insiden itu. Apalagi
menggantinya. Semua nampak jadi serba berbelit-belit.
Masalah lain, sejak berpindahnya kewenangan
pengelolaan ke Disparbudpora Kota, eksistensi BPGKT kian tak jelas. Yang terasa
adalah, peran BPGKT menjadi kian dipersempit pergerakannya. BPGKT hanya
berwenang untuk menangani hal-hal teknis saja seperti menangani kebersihan dan
mempersiapkan pertunjukan semata. Sementara hasil penyewaan gedung harus
disetorkan langsung ke pihak Pemkot. Masih mending kalau pengelolaan GKT itu
sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah, tapi ini tidak. BPGKT tetap harus
membiayai dirinya sendiri. Kondisi ini lebih parah dari saat GKT masih dikuasai
oleh Pemkab Tasikmalaya.
Bahkan, dari sisi program
penyelenggaraan acara yang akan dipentaskan di GKT, Disparbudpora lebih memilih
untuk membentuk kepanitiaan sendiri dengan membuat suatu presidium yang isinya
tidak mencerminkan seluruh aspirasi masyarakat kesenian Kota Tasikmalaya.
Sehingga mau tak mau, suasana berkesenian di Tasikmalaya ini jadi memanas.
Bahkan kelompok-kelompok yang berkompetensi seperti Sanggar Sastra Tasik,
Teater Bolon, Borelak, dan banyak lagi yang lainnya menarik diri dari kegiatan
tersebut.
Sangat disayangkan, sebab
komunitas-komunitas tadi adalah komunitas yang sudah tidak diragukan lagi
eksistensi serta prestasinya di bidangnya masing-masing. Dan sudah sering
mengharumkan nama besar Kota Tasikmalaya, baik di tingkat regional maupun pada
tingkat nasional.
Dan lagi-lagi, BPGKT tidak dilibatkan
secara proporsional di dalam penyelenggaraan acara yang diprediksi akan
menghabiskan APBD ratusan juta rupiah. Padahal secara pengalaman dan kapasitas,
BPGKT yang diisi oleh aktivis seni ini cukup mumpuni. Ini saya sampaikan, bukan
karena ada nilai uang yang besar di dalam kegiatan tersebut, melainkan secara
teknis di lapangan, GKT membutuhkan fasilitas yang memadai untuk menunjang
kegiatan-kegiatan kesenian tersebut. Sebab hari ini, GKT seperti wanita cantik
di luarnya, namun penuh penyakit di dalamnya.
Dari sini sudah jelas, niat tulus
Walikota Tasikmalaya untuk memperbaiki dan memakmurkan gedung kesenian belum
dapat diterjemahkan dengan baik oleh jajaran birokrasi di bawahnya. Hal ini sudah
saya sampaikan pada berbagai kesempatan supaya mendapatkan perhatian dari
pihak-pihak terkait. Salah satunya ketika saya bersama-sama Forum Warga
Tasikmalaya beraudiensi dengan Walikota Tasikmalaya pada 3 Februari 2015 di
Balekota, yang diterima oleh Wakil Walikota, Sekda Kota dan dihadiri pula oleh
Ketua DPRD Kota Tasikmalaya. Namun sampai tulisan ini diturunkan, belum ada
tanda-tanda ke arah perbaikan yang signifikan.
Saya jadi teringat peristiwa pada lebih
dari 17 tahun silam. Ketika pembangunan Gedung Kesenian Tasik tidak pernah
melibatkan kalangan seniman, sehingga hasilnya seperti bukan untuk gedung
pertunjukan. Juga pembentukan Dewan Kesenian yang hanya menimbulkan perpecahan
di antara pegiat kesenian. Ini seperti pengulangan sejarah. Sejarah yang anti
klimaks. Peun !
Tasikmalaya, 10 februari 2015
(Dimuat pertamakali di Harian Kabar Priangan, 11/02/2015, Halaman 14, Rubrik Budaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar