Jumat, 06 Februari 2015

GEDUNG KESENIAN TASIK (Bagian II)

MERESTORASI FUNGSI DAN CITRA GKT

Oleh : Irvan Mulyadie

Merajut Kembali Komunikasi
Bersamaan dengan diangkatnya kembali kepengurusan periode terakhir, 2010-2011 yang masih dimandatkan kepada Drs.Enung Sudrajat, M.Pd sebagai ketua BPGKT, saya juga dipercaya sebagai agen penghubung antara BPGKT dan pihak Pemkab Tasikmalaya dalam posisi sebagai Ketua Pengawas Pengelolaan GKT bersama dengan beberapa rekan PNS lainnya di lingkungan pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya. 
Tugasnya antara lain, sebagai partner BPGKT didalam hal pengawasan pelaksanaan program kerja yang telah disusun, membuat telaah mendasar sebagai bahan evaluasi BPGKT di masa depan, serta yang paling utama adalah melakukan upaya penyambungan tali komunikasi yang sudah putus sejak lama, antara pihak seniman dengan pemerintah. Dan berhasil.
Pihak pemerintah kabupaten mulai melunak pasca Bupati Tatang digantikan oleh H.UU Ruzhanul Ulum setelah 10 tahun menjabat. BPGKT juga mulai kompromi dengan tetap mempertahankan nilai-nilai idealisme kesenimanannya. Sungguh mengharukan dapat menyaksikan kebersamaan seniman dengan pihak pemerintahan lagi. Sebab bagaimana pun, mengurus aset yang begitu besar semacam GKT memerlukan kerjasama berbagai pihak dan membutuhkan biaya besar.
BPGKT akhirnya diberi keleluasaan penuh untuk mengelola GKT. Meskipun tanpa diberi beban lagi target PAD, tapi berkewajiban untuk tetap memelihara dan memperbaikinya. Banyak kemajuan yang dapat dirasakan. BPGKT mulai terbuka dengan pihak luar. Tapi dua tahun terakhir kepengurusan Enung Sudrajat (Alm), masih menyisakan PR besar pada periode selanjutnya. Terutama di wilayah pembenahan fisik bangunan, sistem manajerial dan pemberdayaan sumber daya manusia.
Sementara itu di Kota Tasimalaya, sedang terjadi perebutan kekuasaan. Yang akhirnya dimenangkan oleh Drs. H. Budi Budiman. Seorang kandidat yang berasal dari partai  yang sama dengan Bupati Uu Ruzhanul Ulum. Jadi perhitungannya saat itu, persoalan aset Pemkot dan Pemkab akan segera teratasi.

Periode Terakhir
            Pada 30 April 2012, melalui SK Nomor : 650/402/SK-BPGKT/DISTARKIM/2012 yang ditandatangani oleh Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Kabupaten Tasikmalaya, saya diangkat sebagai Ketua Badan Pengelola Gedung Kesenian Tasikmalaya untuk periode 2012-2015. Adapun Sekretarisnya adalah Nur Achmad Rus, S.Sos (melanjutkan dari periode selanjutnya, 2010-2011) serta yang menjadi Bendahara adalah Danto Herdianto, S.HI (eks.personalia BPGKT tahun 2005-2010). Saya sendiri sebelumnya pernah terlibat sebagai personalia BPGKT tahun 2005-2010 di kesekretariatan.
Sebuah beban moral yang tinggi. Mengingat latar belakang saya dan saudara Nur Achmad Rus adalah bagian dari karyawan Pemkab Tasikmalaya. Kami takut kalau hal ini akan dipelintir oleh pihak-pihak yang tidak suka secara personal untuk mempermasalahkan posisi saya dan rekan-rekan nantinya.
Tapi  berbagai dukungan terus mengalir, baik dari seniman teater, seni rupa, musik, sastra, film bahkan seniman tradisional. Ini tentu sangat membesarkan hati. Menyemangati dan berani membentengi.
Dan hal yang pertama kami lakukan setelah menerima SK adalah melaksanakan sosialisasi bersama kepada masayarakat kesenian Tasikmalaya dengan kepengurusan BPGKT terdahulu. Baik melalui pertemuan teknis maupun kunjungan-kunjungan kecil ke komunitas-komunitas seni. Blusukan, istilahnya. Tujuannya yaitu evaluasi kinerja, menyerap aspirasi seniman dan merancang strategi ke depan untuk perbaikan GKT.
Kepengurusan Badan Pengelola Gedung Kesenian Tasikmalaya (BPGKT) periode 2012-2015 merupakan bentuk kepengurusan yang paling simpel secara struktur sepanjang sejarah kepengurusan BPGKT sejak tahun 1998. Di dalam SKnya, hanya ada Ketua, Sekretaris dan Bendahara. Dan hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan yang mesti dihadapi di lapangan. Apa sebab?
Karena permasalahan yang dihadapi oleh kepengurusan periode sekarang ini lebih kompleks dan sangat berat untuk dihadapi. Baik dari segi fisik maupun secara psikis. Memang, kondisi GKT sudah sangat memprihatinkan. Bahkan di luar nampak seperti Rumah Hantu tanpa penghuni. Kotor dan menyeramkan. Dimana-mana perlu mendapatkan perbaikan yang krusial. Dan ini tidak boleh ditunda-tunda lagi. Sebab berhubungan langsung dengan keselamatan jiwa dan kenyamanan para pengguna GKT itu sendiri.
Aspek psikologis dari masyarakat umum yang cenderung minus terhadap citra GKT yang juga mesti diperbaiki. Inilah yang paling berat diwujudkan. Karena stigma negatif ini telah ditorehkan cukup lama oleh beberapa oknum pengurus BPGKT sendiri. Baik yang secara resmi ditunjuk berdasarkan SK, maupun pengurus bayangan yang sama sekali tidak jelas ‘jenis kelaminnya’.
Belum lagi persoalan politis antara Pemkot dan Pemkab yang seakan-akan saling menyandera kepentingan dalam bentuk penggantungan atas status beberapa aset publik. Dan yang paling parah dan menyedihkan, ternyata GKT sendiri seperti telah ditinggalkan oleh semua orang. Bahkan oleh para senimannya sendiri.
Maka dengan demikian pengurus BPGKT yang baru memandang perlu mempunyai visi dan misi yang jelas dalam rangka penyelamatan aset kebudayaan yang berharga mahal tersebut. Mengingat hal-hal negatif yang telah disebutkan di atas, tidak terlepas -justeru- dari faktor-faktor yang diakibatkan senimannya sendiri, baik sebagai pengurus maupun pemakai.
Hal tadi terjadi dan dapat ditengarai, disebabkan oleh karena longgarnya sistem kepengurusan yang diterapkan. Indikasinya, meskipun banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap tata tertib pemakaian GKT, misalnya, namun tidak pernah ada sekali pun ditemukan adanya tindakan hukuman oleh BPGKT terhadap si pelanggar tersebut. Tentu saja hal yang demikian menjadi bumerang liar bagi BPGKT. Di satu sisi ingin bekerja secara profesional, namun di sisi lainnya ada pengaruh dari faktor-faktor “keakraban” terhadap si pelanggar yang mengakibatkan banyaknya permakluman-permakluman dari BPGKT yang semestinya tidak perlu.
Minimnya kualitas dan kuantitas komunikasi antar pihak-pihak yang berkepentingan terhadap GKT dimasa lalu, merupakan titik lemah yang juga diwaspadai oleh kepengurusaan BPGKT. Jangan sampai di kemudian hari, pengelolaan GKT tercampur dengan kepentingan lain yang tidak perlu bahkan akan merugikan semua pihak.
Pada dasarnya kepengurusan GKT itu bukanlah tentang permasalahan politis, tapi murni persoalan teknis yang dapat diselesaikan secara praktis. Bagaimana misalnya GKT dapat menjadi tempat yang fungsional terhadap berbagai produk pertunjukan secara dinamis, bernilai estetis tapi juga dapat menunjang secara ekonomis bagi seniman Tasikmalaya. Dan hal ini penting untuk segera diwujudkan.
 BPGKT saat itu terus berbenah dengan berbagai program kerja yang progresif. Tindakan cepat dan tepat mutlak harus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dalam banyak hal. Walau pun dalam jangka pendek tidak sampai pada tahap rehabilitasi, tapi BPGKT telah melakukan restorasi disana-sini. Dengan konsep dan mekanisme kerja yang jelas, alur birokrasi yang dipangkas disertai dengan penerapan sistem yang tegas dan berwibawa. Terutama di dalam hal teknis manajemen pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian sistem di lapangan. Bahkan menerapkan manajemen yang transparan dengan melibatkan pihak perbankan di dalam tata kelola keuangannya.

Pekerjaan Rumah
            Semenjak SK tentang ditunjuknya pengurus Badan Pengelola Gedung Kesenian yang baru periode 2012-2015 terbit, anggota BPGKT telah merapatkan barisan untuk segera merespon segala hal yang menyangkut berbagai strategi dan kebijakan yang mesti ditempuh dalam penanganan Gedung Kesenian Tasikmalaya. Salah satunya yaitu dengan merumuskan berbagai persoalan yang ada di lapangan, dan kemudian menetapkan program yang sesuai dengan arah pemecahan atas masalah-masalah tersebut.
            Solusi yang ditemukan antara lain dengan peluncuran progran 5 Restorasi GKT. Restorasi yang dimaksudkan adalah perbaikan-perbaikan kecil terhadap 5 penyangga keberhasilan Gedung Kesenian Tasik ke depan yang sesuai dengan tuntutan jaman.
Kenapa cuma restorasi? Bukannya rehabilitasi atau revitalisasi? Jawabannya ya tadi itu, disesuaikan dengan kondisi yang ada saat itu. Baik kondisi fisik GKTnya, individu BPGKTnya sendiri, maupun perihal yang menyangkut beban biaya.
Adapun 5 hal tersebut yaitu :
1.      Restorasi Fisik Bangunan GKT
Yakni dengan mengembalikan fungsi-fungsi fasilitas yang ada di GKT seperti toilet dan ruang-ruang lainnya, pengecatan bangunan, pengadaan lampu-lampu panggung, perbaikan sound system, perbaikan sistem drainase, penggantian kaca-kaca yang pecah, perbaikan jaringan listrik, plafond, dll.   
2.      Restorasi Kebijakan BPGKT
Dengan membuat dan menerapkan aturan-aturan main yang jelas dalam pemakaian GKT, berikut dengan pemberlakuan sanksi yang tegas terhadap pelanggar aturan tersebut. Tanpa pandang bulu dan tanpa pilih kasih. Hal ini penting untuk eksistensi BPGKT sebagai lembaga yang kredibel untuk semua kalangan, baik terhadap seniman maupun masyarakat lainnya.
3.      Restorasi Manajemen
Memperbaiki sistem manajemen BPGKT menuju ke arah profesional dan transparan. Salahsatu diantaranya membuka ruang komunikasi dengan berbagai pihak yang kompeten dan berkepentingan, membuka peluang kerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan pemerintah maupun dengan pihak-pihak swasta dalam rangka pengembangan GKT yang lebih baik.
4.      Restorasi Fungsi GKT
GKT di masa depan, tidak lagi sekedar sebagai tempat pertunjukan semata, melainkan akan lebih dioptimalisasikan menjadi multi fungsi, seperti tempat pelatihan resmi kesenian-kesenian yang berkembang di Tasikmalaya, baik seni tradisional, modern maupun kontemporer. Dan bila memungkinkan GKT juga akan difungsikan juga sebagai penunjang kegiatan lainnya yang sejalan dengan seni dan kebudayaan seperti tempat pameran produk-produk kriya dan produk kreatif lainnya.
5.      Restorasi Citra
Yakni memperbaiki wacana minor tentang GKT dari pihak internal seniman maupun dari masyarakat umum dan pemerintah. Strateginya sederhana, kerjasama.

Dalam masa kepengurusan hingga akhir 2013, telah banyak capaian yang dihasilkan. 5 program restorasi pun telah dapat diwujudkan meski dengan perlahan-lahan. Berbagai kebutuhan peralatan panggung seperti lighting hampir tercapai sempurna. Seniman sudah kembali menggunakan GKT dengan tanpa keraguan lagi. Masyarakat umum pun mulai sering berkunjung lagi.
Tapi masih ada kelemahan yang belum dapat diatasi, yaitu menghadirkan pegawai dan penjaga keamanan secara profesional. Artinya, BPGKT belum mampu menggaji personilnya secara manusiawi selayaknya orang bekerja di perusahaan. Nyaris seluruh personil BPGKT bekerja secara sukarela. Ada pun honor yang diberikan ketika ada pertunjukan atau gedung sedang disewa, itu hanya alakadarnya. Sebagai pengganti makan atau minum kopi pada hari itu saja. Tak ada lebihnya untuk dibawa pulang ke rumah.
bersambung....

Dimuat pertama kali di Harian Kabar Priangan, 4 Februari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar