MERESTORASI FUNGSI DAN CITRA GKT
Oleh : Irvan Mulyadie
Bersamaan dengan diangkatnya kembali
kepengurusan periode terakhir, 2010-2011 yang masih dimandatkan kepada
Drs.Enung Sudrajat, M.Pd sebagai ketua BPGKT, saya juga dipercaya sebagai agen
penghubung antara BPGKT dan pihak Pemkab Tasikmalaya dalam posisi sebagai Ketua
Pengawas Pengelolaan GKT bersama dengan beberapa rekan PNS lainnya di
lingkungan pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya.
Tugasnya antara lain, sebagai partner BPGKT didalam hal pengawasan
pelaksanaan program kerja yang telah disusun, membuat telaah mendasar sebagai
bahan evaluasi BPGKT di masa depan, serta yang paling utama adalah melakukan
upaya penyambungan tali komunikasi yang sudah putus sejak lama, antara pihak
seniman dengan pemerintah. Dan berhasil.
Pihak pemerintah kabupaten mulai melunak
pasca Bupati Tatang digantikan oleh H.UU Ruzhanul Ulum setelah 10 tahun
menjabat. BPGKT juga mulai kompromi dengan tetap mempertahankan nilai-nilai
idealisme kesenimanannya. Sungguh mengharukan dapat menyaksikan kebersamaan
seniman dengan pihak pemerintahan lagi. Sebab bagaimana pun, mengurus aset yang
begitu besar semacam GKT memerlukan kerjasama berbagai pihak dan membutuhkan
biaya besar.
BPGKT akhirnya diberi keleluasaan penuh
untuk mengelola GKT. Meskipun tanpa diberi beban lagi target PAD, tapi berkewajiban
untuk tetap memelihara dan memperbaikinya. Banyak kemajuan yang dapat
dirasakan. BPGKT mulai terbuka dengan pihak luar. Tapi dua tahun terakhir
kepengurusan Enung Sudrajat (Alm), masih menyisakan PR besar pada periode
selanjutnya. Terutama di wilayah pembenahan fisik bangunan, sistem manajerial
dan pemberdayaan sumber daya manusia.
Sementara itu di Kota Tasimalaya, sedang
terjadi perebutan kekuasaan. Yang akhirnya dimenangkan oleh Drs. H. Budi
Budiman. Seorang kandidat yang berasal dari partai yang sama dengan Bupati Uu Ruzhanul Ulum.
Jadi perhitungannya saat itu, persoalan aset Pemkot dan Pemkab akan segera
teratasi.
Periode Terakhir
Pada 30 April 2012, melalui SK Nomor
: 650/402/SK-BPGKT/DISTARKIM/2012 yang ditandatangani oleh Kepala Dinas Tata Ruang
dan Permukiman Kabupaten Tasikmalaya, saya diangkat sebagai Ketua Badan
Pengelola Gedung Kesenian Tasikmalaya untuk periode 2012-2015. Adapun
Sekretarisnya adalah Nur Achmad Rus, S.Sos (melanjutkan dari periode
selanjutnya, 2010-2011) serta yang menjadi Bendahara adalah Danto Herdianto,
S.HI (eks.personalia BPGKT tahun 2005-2010). Saya sendiri sebelumnya pernah
terlibat sebagai personalia BPGKT tahun 2005-2010 di kesekretariatan.
Sebuah beban moral yang tinggi.
Mengingat latar belakang saya dan saudara Nur Achmad Rus adalah bagian dari
karyawan Pemkab Tasikmalaya. Kami takut kalau hal ini akan dipelintir oleh
pihak-pihak yang tidak suka secara personal untuk mempermasalahkan posisi saya
dan rekan-rekan nantinya.
Tapi
berbagai dukungan terus mengalir, baik dari seniman teater, seni rupa,
musik, sastra, film bahkan seniman tradisional. Ini tentu sangat membesarkan
hati. Menyemangati dan berani membentengi.
Dan hal yang pertama kami lakukan
setelah menerima SK adalah melaksanakan sosialisasi bersama kepada masayarakat
kesenian Tasikmalaya dengan kepengurusan BPGKT terdahulu. Baik melalui
pertemuan teknis maupun kunjungan-kunjungan kecil ke komunitas-komunitas seni.
Blusukan, istilahnya. Tujuannya yaitu evaluasi kinerja, menyerap aspirasi
seniman dan merancang strategi ke depan untuk perbaikan GKT.
Kepengurusan
Badan Pengelola Gedung Kesenian Tasikmalaya (BPGKT) periode 2012-2015 merupakan
bentuk kepengurusan yang paling simpel secara struktur sepanjang sejarah
kepengurusan BPGKT sejak tahun 1998. Di dalam SKnya, hanya ada Ketua,
Sekretaris dan Bendahara. Dan hal ini berbanding terbalik dengan kenyataan yang
mesti dihadapi di lapangan. Apa sebab?
Karena
permasalahan yang dihadapi oleh kepengurusan periode sekarang ini lebih
kompleks dan sangat berat untuk dihadapi. Baik dari segi fisik maupun secara
psikis. Memang, kondisi GKT sudah sangat memprihatinkan. Bahkan di luar nampak
seperti Rumah Hantu tanpa penghuni. Kotor dan menyeramkan. Dimana-mana perlu
mendapatkan perbaikan yang krusial. Dan ini tidak boleh ditunda-tunda lagi.
Sebab berhubungan langsung dengan keselamatan jiwa dan kenyamanan para pengguna
GKT itu sendiri.
Aspek
psikologis dari masyarakat umum yang cenderung minus terhadap citra GKT yang
juga mesti diperbaiki. Inilah yang paling berat diwujudkan. Karena stigma
negatif ini telah ditorehkan cukup lama oleh beberapa oknum pengurus BPGKT
sendiri. Baik yang secara resmi ditunjuk berdasarkan SK, maupun pengurus
bayangan yang sama sekali tidak jelas ‘jenis kelaminnya’.
Belum lagi
persoalan politis antara Pemkot dan Pemkab yang seakan-akan saling menyandera
kepentingan dalam bentuk penggantungan atas status beberapa aset publik. Dan
yang paling parah dan menyedihkan, ternyata GKT sendiri seperti telah
ditinggalkan oleh semua orang. Bahkan oleh para senimannya sendiri.
Maka dengan
demikian pengurus BPGKT yang baru memandang perlu mempunyai visi dan misi yang
jelas dalam rangka penyelamatan aset kebudayaan yang berharga mahal tersebut.
Mengingat hal-hal negatif yang telah disebutkan di atas, tidak terlepas
-justeru- dari faktor-faktor yang diakibatkan senimannya sendiri, baik sebagai
pengurus maupun pemakai.
Hal tadi terjadi
dan dapat ditengarai, disebabkan oleh karena longgarnya sistem kepengurusan
yang diterapkan. Indikasinya, meskipun banyak pelanggaran-pelanggaran terhadap
tata tertib pemakaian GKT, misalnya, namun tidak pernah ada sekali pun
ditemukan adanya tindakan hukuman oleh BPGKT terhadap si pelanggar tersebut.
Tentu saja hal yang demikian menjadi bumerang liar bagi BPGKT. Di satu sisi
ingin bekerja secara profesional, namun di sisi lainnya ada pengaruh dari
faktor-faktor “keakraban” terhadap si pelanggar yang mengakibatkan banyaknya
permakluman-permakluman dari BPGKT yang semestinya tidak perlu.
Minimnya
kualitas dan kuantitas komunikasi antar pihak-pihak yang berkepentingan
terhadap GKT dimasa lalu, merupakan titik lemah yang juga diwaspadai oleh
kepengurusaan BPGKT. Jangan sampai di kemudian hari, pengelolaan GKT tercampur
dengan kepentingan lain yang tidak perlu bahkan akan merugikan semua pihak.
Pada dasarnya
kepengurusan GKT itu bukanlah tentang permasalahan politis, tapi murni
persoalan teknis yang dapat diselesaikan secara praktis. Bagaimana misalnya GKT
dapat menjadi tempat yang fungsional terhadap berbagai produk pertunjukan
secara dinamis, bernilai estetis tapi juga dapat menunjang secara ekonomis bagi
seniman Tasikmalaya. Dan hal ini penting untuk segera diwujudkan.
BPGKT saat itu terus berbenah dengan berbagai
program kerja yang progresif. Tindakan cepat dan tepat mutlak harus dilakukan
untuk mengejar ketertinggalan dalam banyak hal. Walau pun dalam jangka pendek
tidak sampai pada tahap rehabilitasi, tapi BPGKT telah melakukan restorasi
disana-sini. Dengan konsep dan mekanisme kerja yang jelas, alur birokrasi yang
dipangkas disertai dengan penerapan sistem yang tegas dan berwibawa. Terutama
di dalam hal teknis manajemen pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian sistem
di lapangan. Bahkan menerapkan manajemen yang transparan dengan melibatkan
pihak perbankan di dalam tata kelola keuangannya.
Pekerjaan
Rumah
Semenjak
SK tentang ditunjuknya pengurus Badan Pengelola Gedung Kesenian yang baru
periode 2012-2015 terbit, anggota BPGKT telah merapatkan barisan untuk segera
merespon segala hal yang menyangkut berbagai strategi dan kebijakan yang mesti
ditempuh dalam penanganan Gedung Kesenian Tasikmalaya. Salah satunya yaitu
dengan merumuskan berbagai persoalan yang ada di lapangan, dan kemudian
menetapkan program yang sesuai dengan arah pemecahan atas masalah-masalah
tersebut.
Solusi
yang ditemukan antara lain dengan peluncuran progran 5 Restorasi GKT. Restorasi
yang dimaksudkan adalah perbaikan-perbaikan kecil terhadap 5 penyangga
keberhasilan Gedung Kesenian Tasik ke depan yang sesuai dengan tuntutan jaman.
Kenapa cuma restorasi? Bukannya
rehabilitasi atau revitalisasi? Jawabannya ya tadi itu, disesuaikan dengan
kondisi yang ada saat itu. Baik kondisi fisik GKTnya, individu BPGKTnya
sendiri, maupun perihal yang menyangkut beban biaya.
Adapun 5 hal tersebut yaitu :
1.
Restorasi
Fisik Bangunan GKT
Yakni
dengan mengembalikan fungsi-fungsi fasilitas yang ada di GKT seperti toilet dan
ruang-ruang lainnya, pengecatan bangunan, pengadaan lampu-lampu panggung,
perbaikan sound system, perbaikan sistem drainase, penggantian kaca-kaca yang
pecah, perbaikan jaringan listrik, plafond, dll.
2. Restorasi Kebijakan BPGKT
Dengan
membuat dan menerapkan aturan-aturan main yang jelas dalam pemakaian GKT,
berikut dengan pemberlakuan sanksi yang tegas terhadap pelanggar aturan
tersebut. Tanpa pandang bulu dan tanpa pilih kasih. Hal ini penting untuk
eksistensi BPGKT sebagai lembaga yang kredibel untuk semua kalangan, baik
terhadap seniman maupun masyarakat lainnya.
3. Restorasi Manajemen
Memperbaiki
sistem manajemen BPGKT menuju ke arah profesional dan transparan. Salahsatu
diantaranya membuka ruang komunikasi dengan berbagai pihak yang kompeten dan
berkepentingan, membuka peluang kerjasama dengan berbagai pihak, baik dengan
pemerintah maupun dengan pihak-pihak swasta dalam rangka pengembangan GKT yang
lebih baik.
4. Restorasi Fungsi GKT
GKT
di masa depan, tidak lagi sekedar sebagai tempat pertunjukan semata, melainkan
akan lebih dioptimalisasikan menjadi multi fungsi, seperti tempat pelatihan
resmi kesenian-kesenian yang berkembang di Tasikmalaya, baik seni tradisional,
modern maupun kontemporer. Dan bila memungkinkan GKT juga akan difungsikan juga
sebagai penunjang kegiatan lainnya yang sejalan dengan seni dan kebudayaan
seperti tempat pameran produk-produk kriya dan produk kreatif lainnya.
5. Restorasi Citra
Yakni
memperbaiki wacana minor tentang GKT dari pihak internal seniman maupun dari
masyarakat umum dan pemerintah. Strateginya sederhana, kerjasama.
Dalam masa
kepengurusan hingga akhir 2013, telah banyak capaian yang dihasilkan. 5 program
restorasi pun telah dapat diwujudkan meski dengan perlahan-lahan. Berbagai
kebutuhan peralatan panggung seperti lighting hampir tercapai sempurna. Seniman
sudah kembali menggunakan GKT dengan tanpa keraguan lagi. Masyarakat umum pun
mulai sering berkunjung lagi.
Tapi masih ada
kelemahan yang belum dapat diatasi, yaitu menghadirkan pegawai dan penjaga
keamanan secara profesional. Artinya, BPGKT belum mampu menggaji personilnya
secara manusiawi selayaknya orang bekerja di perusahaan. Nyaris seluruh
personil BPGKT bekerja secara sukarela. Ada pun honor yang diberikan ketika ada
pertunjukan atau gedung sedang disewa, itu hanya alakadarnya. Sebagai pengganti
makan atau minum kopi pada hari itu saja. Tak ada lebihnya untuk dibawa pulang
ke rumah.
bersambung....
Dimuat pertama kali di Harian Kabar Priangan, 4 Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar